Wednesday, January 28, 2009

SIRI 2- WAWANCARA DENGAN SYEIKH MUHAMMAD ALI TASKHIRI SETIAUSAHA AGUNG ORGANISASI PENDEKATAN ANTARA MAZHAB-MAZHAB ISLAM DI REPUBLIK ISLAM IRAN

S : Sebagaimana masyhur di kalangan ulama usul fikih dan hadis Syiah, bahwa salah satu jalan keluar dari kemelut ketika adanya dua hadis yang bertentangan adalah menolak pendapat umum mukhalafatul ammah bahkan di dalam kitab al-Kafi disebutkan, ”hadis yang sesuai dengan pendapat umum (Ahlus-sunnah) itu adalah salah dan yang tidak sama dengan mereka itu adalah yang benar dan dapat diambil dan diamalkan”. apakah ini tidak bertentangan dengan upaya wahdah dan taqrib?

Sama sekali tidak. Sebab yang dimaksudkan dengan kata ammah dalam hadis tersebut bukanlah ulama Ahlus-sunnah. Namun para ulama kerajaanlah yang menjaja fatwa itu sesuai dengan keinginan pemerintah. Sebagai bukti atas hal itu, hadis tersebut disampaikan oleh Imam Ja`far Sadiq as dan saat itu belum ada mazhab-mazhab Ahlusunnah yang empat. Jadi, maksud dari kaidah dan hadis tersebut adalah di saat kita menemukan ada dua hadis yang bertentangan dan kedua-duanya dari Imam Ahlulbait, yang satu menyuruh dan yang satu lagi melarang. Tentu, hanya satu di antara keduanya yang betul dan tidak mungkin betul kedua-keduanya. Salah satu cara untuk menyelesaikan problem itu dan memastikan mana yang benar di antara dua perintah dan larangan tersebut adalah dengan mengambil yang bertentangan dengan yang difatwakan oleh ulama kerajaan. Sebab yang sesuai dengan fatwa mereka memiliki kemungkinan Imam as menyampaikannya dalam bentuk taqiyah. (Harus kita ingat) kondisi dan tekanan yang dialami Imam, meniscayakan Imam untuk bertaqiyah dengan menyatakan yang bersesuaian dengan fatwa mereka. Sebaliknya, yang bertentangan dengan fatwa mereka, maka tidak ada kemungkinan hal itu disampaikan oleh Imam dalam bentuk taqiyah. Kesimpulannya, kaidah ini sangat jauh dari yang difahami sebahagian orang dan pada akhirnya tidak bertentangan dengan prinsip pendekatan antara mazhab.

S: Dalam ilmu hadis Syiah, kita tahu bahwa ada perbezaan dalam kaedah penerimaan ulama antara perawi Sunni dengan Syiah. Bagaimana komen Tuan?

Memang betul hal itu terjadi. Namun bukan berarti setiap hadis yang diriwayatkan oleh non-Syiah itu harus ditolak. Kerana itu kita ada istilah dalam ilmu hadis sebagai hadis muwatstsaq yaitu hadis yang diriwayatkan oleh para perawi adil non-Syiah. Hadis muwatstsaq itu dapat dipergunakan (hujjah) sebagaimana ada istilah lain yang dikenal dengan maqbulah. Sungguh sebuah kesalahan besar apa yang dikatakan sebagian orang bahwa Syiah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para perawi Syiah saja atau Ahlulbait sahaja !. Yang benar setiap hadis yang diriwayatkan oleh para perawi adil, baik Syiah atau bukan, dari Ahlulbait atau bukan, yang penting periwayatannya bersambung hingga seorang salah seorang maksum (Rasul atau Ahlulbaitnya). Sekali lagi saya ingin tegaskan, bahwa jika ada hadis, sabda Nabi yang diriwayatkan oleh para perawi adil non-Syiah, maka kami menerimanya. Begitu juga hadis yang disabdakan oleh para Imam Ahlulbait dan diriwayatkan oleh para perawi adil non-Syiah.

S: Ada berbagai metod dan cara yang dilakukan oleh beberapa ustadz atau mubaligh dalam mengenalkan mazhab Ahlulbait kepada masyarakat di rantau Asia Tenggara ini. Ada yang masuk dari pintu sejarah, maka mereka melakukan kajian sejarah yang pasti sampai kepada pembahasan tentang sahabat dan para khalifah serta kesalahan-kesalahan mereka. Sebahagian lain melakukan kajian masalah-masalah yang berhubungan dengan fikih yang diperselisihkan, seperti solat tarawih, nikah mut’ah dan sebagainya. Sekelompok yang lain menggunakan pendekatan doa dan kadangkala masuk dari jalur politik. Sebagai seorang yang berpengalaman dalam hal ini, manakah di antara metod-metod tersebut yang Tuan sarankan kepada kami?

Secara peribadi saya tidak setuju adanya upaya untuk mengubah mazhab seseorang dan demografi mazhab. Saya meyakini, hendaknya kita tidak mengambil kesempatan kelemahan orang lain. Namun, pada saat yang sama saya meyakini, bahwa hal itu bukan bererti menutup pintu pembahasan dan dialog. Memang benar telah terjadi perselisihan dan perbezaan pandangan antara Sunnah dan Syiah dalam masalah-masalah teologi, sejarah, dan fikih. Akhir-akhir ini juga dalam masalah politik. Ketika kita berupaya untuk melakukan pendekatan, ertinya kita membuka pintu sebesar-besarnya agar para ulama yang memiliki kepakaran di bidangnya masing-masing duduk bersama untuk melakukan pembahasan. Di bidang sejarah misalnya, apakah masalah A itu pernah terjadi atau tidak? Apakah sahabat semuanya adil? Apakah Ahlulbait semuanya maksum, semua itu sebagai pembahasan sejarah haruslah diserahkan kepada ahlinya. Di dalam masalah akidah juga demikian para ulama membahas apakah sifat Allah itu menyatu dengan zat-Nya ataukah tidak? Apakah dalil tentang kemaksuman Nabi? Baik secara akli (rasional) atau naqli (nas) termasuk keterpeliharaannya dari kesalahan, dosa dan lupa ataukah hanya keterpeliharaan dari dosa dan maksiat saja? Begitu pula di bidang fikih, apakah nikah mut’ah itu halal dan kemudian diharamkan kembali oleh Rasul atau tidak? Apakah Nabi melakukan solat tarawih ataukah tidak? Siapa yang memulainya? Khalifah Umar atau selainnya? Apakah sunnah (ajaran yang dicontohkan) oleh para khalifah adalah seperti sunnah Rasul yang wajib diikuti seperti sunnah rasul? Semua itu harus diserahkan kepada yang memiliki keahlian di bidangnya, karena merekalah yang lebih layak dan memiliki bahan untuk membahas hal itu dan mereka adalah ikutan para muqallid (pengikut) mazhab masing-masing. Apakah riwayatnya sahih atau tidak? Apakah konteks hadis tersebut boleh difahami (hujjahnya) demikian atau tidak? Bagaimana menyelesaikan perselisihan dan pertentangan dua hadis yang berbeza? Jika mereka dapat menghasilkan kesepakatan dalam kefahaman, alhamdulillah. Jika tidak, maka hendaknya masing-masing saling menghormati paling tidak. Sangat tidak layak secara akademik jika seorang awam, pedagang yang sehari-hari di pasar membahas hal itu dengan sesama pedagangnya atau dengan pemandu taksi contohnyanya. Itu adalah masalah-masalah yang para ulama telah berselisih pendapat sejak 1200 tahun yang lalu. Yang ingin saya tekankan di sini seperti yang saya sampaikan dalam pertemuan di Universitai az-Zahra dan Konferens ICIS II ialah bahwa Islam sangat menekankan pada kekuatan logik bukan emosional. Kerana itu, semua pembahasan itu haruslah di bawah naungan logik tersebut dan jika terdapat yang keluar dari jalur logik masuk ke jalur emosi maka ia telah keluar dari garis Islam. Saya sebagai seorang ahli fikih, misalnya, jika melakukan berbagai usaha untuk menipu dan menarik simpati seorang awam yang tidak banyak tahu tentang masalah fikih kemudian menariknya ikut dan bergabung dengan mazhab yang saya yakini, maka saya telah melanggar kod etika logik. Begitu juga seorang ahli sejarah yang membahas masalah sejarah yang diyakininya di depan seorang awam. Metod logik ialah kedua-dua pihak yang ahli dalam bidangnya duduk bersama dan mereka selevel secara akademik kemudian masuk dalam pembahasan dengan hati terbuka dengan tujuan yang baik dan saling menghormati seperti yang terkandung dalam ayat di atas. Selain itu hendaklah tidak memperkeruh suasana dengan hal-hal lain. Di zaman Nabi beliau dituduh dengan tuduhan gila, tukang sihir, dan tuduhan-tuduhan lain. Tentu dalam kondisi seperti itu Nabi tidak mungkin untuk membantahnya dengan mengatakan, saya tidak gila dengan hujjah berikut; ”dengar saya hitung satu, dua, tiga bukti saya tidak gila”, suasananya adalah suasana tuduhan bukan pembahasan. Kerananya tidak ada jalan lain kecuali menghilangkan kondisi yang demikian dan menggantikannya dengan suasana baru yang membina untuk pembahasan ilmiah dan logik. Allah memerintahkan Nabi saw untuk menyeru mereka dengan firman-Nya, yang ertinya ”marilah kita jadikan Allah sebagai saksi kita dan kita duduk sendiri-sendiri atau berdua-berdua, baru kemudian setelah itu kalian mengolah fikiran kalian bahwa sahabat kalian ini tidaklah gila”, Nah menjadi seorang yang berakal sihat, tulus, jujur. Inilah yang dituntut secara asasnya. Yang kedua apa yang disampaikan oleh Nabi itu adalah sebuah perkataan yang penuh hikmah dan logik. Bagaimana mungkin yang demikian disampaikan oleh seorang gila? Kesimpulannya haruslah diciptakan suasana pembahasan yang membina dan kekuatan logikalah yang menjadi tolak ukurnya. Bahkan bukan hanya sesama Muslim atau Ahlulkitab, namun dengan seluruh manusia apa pun agama dan mazhabnya. Hal itu berlaku juga dalam pembahasan di bidang-bidang lain. Sangat tidak mungkin seorang pakar fizik melakukan perbincangan dengan seorang pelajar yang baru duduk di bangku sekolah darjah satu.
Bersambung....

No comments: