Wednesday, October 15, 2008

BIOGRAFI PEMIMPIN ISLAM SAYYID ALI KHAMENA'I -SIRI 1-

Kenalkah anda Siapakah Beliau ?

“Selama bertahun-tahun lamanya, saya telah mengenal Anda. Hubungan di antara kita bahkan sudah terjalin, jauh sebelum meletusnya revolusi. Hingga kini, saya mengenal Anda sebagai salah satu tulang belakang revolusi Islam Iran. Anda juga saya kenal sebagai seorang yang sangat faham masalah-masalah hukum Islam, dan Anda sangat taat dengan hukum-hukum tersebut. Terkait dengan penegakkan sistem pemerintahan Islami yang berlandaskan konsep Wilayatul Faqih, Anda terbukti telah berani mengorbankan apapun, termasuk nyawa, demi tegaknya sistem pemerintahan suci ini. Anda di antara orang-orang yang setia kepada revolusi dan agama, Anda bagaikan mentari yang memberikan cahaya kepada sekelilingnya". (Kesaksian Imam Khomeini tentang Sayyid Ali Khamenei)

Sebuah Keluarga Sederhana

28 Shafar 1382 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 18 April 1939, keluarga miskin dan sederhana dari keturunan Rasulullah s.a.w.w yang bersambung pertalian darahnya dengan Sayyidus Syuhada' al-Imam Husain a.s iaitu keluarga Hujjatul Islam wal muslimin Sayyid Jawad al-Husaini telah melahirkan putera kedua yang diberi nama Sayyid Ali. Tak ada tanda-tanda berarti yang menunjukkan bahwa bayi tampan yang dilahirkan dari keluarga yang taat pada agama itu akan menjadi salah satu tonggak revolusi Islam di Iran. Sayyid Jawad, sang ayah, saat itu tidak mengira bahwa sang putera yang dilahirkan di kawasan Khamene, sebuah kota kecil sekitar Masyhad, Iran Timur itu, kelak akan disebut oleh al-marhum Ayatullah Talegani, imam Jumaat pertama setelah revolusi, sebagai pemimpin masa depan Republik Islam Iran dan dunia Islam.
Padahal, Sayyid Ali yang menjalani masa-masa pertumbuhan dimasa kanak-kanaknya dengan kehidupan yang sangat sederhana tersebut, kini adalah pemimpin tertinggi di Iran bahkan kaum muslimin. Beliau kini dikenal dengan sebutan Ayatullah Al-‘Udhma Sayyid Ali Khamenei. Beliau bahkan seorang wali faqih yang berdasarkan aqidah kepercayaan para pengikut Ahlul Bait, ia adalah wakil dari Imam Zaman a.s yang saat ini sedang dalam masa ghaibah (menghilang dari pandangan zahir).

Ke manapun beliau mengunjungi tempat di Iran, ribuan bahkan terkadang sampai jutaan rakyat mengalu-alukannya. Orang-orang secara histeria menyebut beliau dengan kata-kata “Khamanei Khomeini-ye digar ast!” (Khamenei adalah penjelmaan dari Imam Khomeini). Setiap beliau menyelesaikan pidato yang berisikan seruan kepada rakyat Iran untuk melakukan sesuatu menghadapi serangan kekuatan-kekuatan besar dunia, orang-orang itu akan berteriak “Ma hame sarbaz-e tu im Khamenei! Gush be farman-e tu im Khamanenei” (Kami semua adalah prajuritmu wahai Khamenei! Telinga kami selalu siap mendengarkan titahmu wahai Khamanei!).

Sayyid Ali Khamanei memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin yang tumbuh dari bawah. Datuknya, Sayyid Husein, memang seorang ulama pejuang yang bahkan sempat menjadi utusan daerah Tabriz pada Majelis Nasional Iran, sebuah jabatan yang kemudian dipergunakan Sayyid Husein untuk melawan rejim zalim Pahlevi dan kemudian berakhir dengan gugurnya beliau di tangan kuncu-kuncu Reza Khan. Akan tetapi, semua itu tidaklah cukup untuk menjadikan Sayyid Ali remaja sebagai orang yang dikenal sebagai keturunan pejuang. Sayyid Ali tetaplah menjadi sosok sederhana dan tawadhu' yang menapaki jinjang kepemimpinannya lewat perjuangannya sendiri.

Masa Kanak-Kanak

Masa kanak-kanak Sayyid Ali dilalui dengan belajar Al-Quran dari ayahandanya sendiri. Pada usia tujuh tahun, sebagaimana anak-anak seusianya, Sayyid Ali memasuki pendidikan di sekolah rendah. Selesai menamatkan pendidikan rendah, Sayyid Ali melanjutkan pendidikan di sekolah menengah. Pada saat yang sama, Sayyid Ali juga mulai memasuki dunia hauzah, yang dikenangnya sebagai masa paling mengesankan selama hidupnya. Pada tahun 2000 lalu, saat diwawancarai oleh para pelajar sekolah menengah di Teheran, dan saat ditanya tentang cita-cita beliau waktu kecil, Sayyid Ali menjawab bahwa beliau tidak begitu ingat, apa cita-citanya ketika masih kanak-kanak. Hanya saja, menurut beliau, yang paling mengesankan dari masa kanak-kanak dan remajanya adalah ketika ia memutuskan untuk belajar ilmu-ilmu keagamaan di hauzah ilmiah.

Hauzah seakan sudah dipersiapkan sebagai dunia masa depan Sayyid Ali. Ayahnya, dan terutama ibunya, selalu mengatakan kepada Sayyid Ali bahwa satu-satunya keinginan keduanya menyangkut masa depan Sayyid Ali adalah mengirimkannya ke hauzah ilmiah. Sayyid Ali sendiri memang sangat menyukai ilmu-ilmu keagamaan. Pengetahuan luas ayahnya di bidang ilmu-ilmu agama adalah salah satu penyebab kekaguman Sayyid Ali kepada ayahandanya.

Sejak awal memasuki dunia hauzah, Sayyid Ali remaja sudah mengenakan pakaian ruhani sebagai pakaian sehari-hari, yaitu gamis, qaba, aba’ah (jubah), dan serban hitam yang menandakan bahwa ia seorang sayyid (keturunan Rasulullah s.a.w.w). Mengenai pakaian ruhani yang sudah dipakainya sejak masih remaja itu, Ayatullah Khamenei mengatakan bahwa pakaian ruhani tersebut baginya merupakan satu tanda bangkangan beliau dari awal lagi bahwa ia adalah penentang rejim zalim Syah. Reza Khan, ayah dari Reza Pahlevi yang memang sangat terkenal membenci jenis pakaian seperti itu. Tapi, justru karena itulah, Sayyid Jawad sudah menyuruh anaknya agar mengenakan pakaian ruhani ketika baru saja memasuki dunia hauzah, sebagai bentuk penentangan terhadap Syah.

Belajar di Hauzah dan Menjadi Kritikus Sastra

Di hauzah, hanya dalam tempo lima tahun, Sayyid Ali menunjukkan bakatnya yang luar biasa di bidang ilmu-ilmu agama. Pada usia 18 tahun, Sayyid Ali sudah diperbolehkan untuk mempelajari bahtsul kharij, sebuah tahap dalam disiplin ilmu-ilmu hauzah yang memungkinkan seorang talabeh (pelajar ilmu agama) untuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan tingkat tinggi. Sekolah kerajaan sendiri ditinggalkan Sayyid Ali setelah ia menamatkan pendidikan menengahnya. Akan tetapi, ia tetap mempelajari ilmu-ilmu umum secara bergilir. Sayyid Ali memang sangat gemar membaca. Segala bidang ilmu ia pelajari. Akan tetapi, yang paling disukainya adalah sejarah dan sastra. Di bidang sastra, Sayyid Ali saat muda sempat bergabung dengan sebuah kelab sastra. Di sana ia menjadi kreatif dengan karya-karya sastra dari para sastrawan kota Masyhad. Ia juga sempat menulis sejumlah syair yang dimuat di beberapa buletin sastra Masyhad. Saat menulis, ia menggunakan nama samaran: Amin. Sampai usia 20 tahun, Sayyid Ali belajar bahsul kharij pada Ayatullah Ashena’i di Masyhad. Selepas itu, ia melanjutkan pelajaran tingkat tingginya di kota Najaf, Irak, yang saat itu dikenal sebagai salah satu pusat belajar ilmu-ilmu keislaman dunia.

Pada tahun 1959, Sayyid Ali kembal ke Iran, dan melanjutkan belajar di Qom Al-Muqaddasah. Di sinilah ia berkenalan dengan guru yang kemudian menjadi mentor politiknya: Imam Khomeini. Selain belajar kepada Imam Khomeini, Sayyid Ali saat muda juga belajar pada sejumlah ulama besar waktu itu seperti Ayatullah Ha’iri dan Ayatullah Boroujerdi. Sayyid Ali yang sejak masa remaja sudah terasah bakat-bakat keilmuannya di hauzah ilmiah Masyhad dan Najaf, menjadi semakin cemerlang lewat bimbingan yang cerdas dari para ulama besar. Dari Imam Khomeini, Sayyid Ali juga menyerap secara sempurna semangat kebangkitan dan perjuangan melawan kezaliman.

Bersambung...

No comments: