Monday, October 27, 2008

BIOGRAFI PEMIMPIN ISLAM SAYYID ALI KHAMENA'I -SIRI3-

Tenggelam dan Terbitnya Mentari

Pagi hari itu, sejak azan subuh dikumandangkan, radio-radio secara serentak memperdengarkan bacaan Al-Quran. Pukul 10 malam semalam, Imam memang telah mengembuskan nafasnya yang paling akhir untuk bertemu dengan kekasihnya Allah,. Pagi hari itu juga, Majlis Khubregan (Dewan ulama' pakar kepimpinan) Iran mengadakan sidang darurat dengan satu agenda: mendengarkan pembacaan surat wasiat Imam. Sebelum wafat, Imam telah menulis sebuah surat wasiat. Menurut beliau, hanya dua orang yang berhak untuk membacakan suratnya itu. Pertama, putra tercintanya, Sayyid Ahmad Khomeini dan yang kedua, Sayyid Ali Khamenei yang saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Islam Iran. Sayyid Ahmad kemudian meminta dengan sangat agar Sayyid Ali yang membacakan surat wasiat itu. Sayyid Ali pun dengan berat hati menyanggupi permintaan itu. Pembacaan surat wasiat itu kemudian tercatat sebagai kandungan yang sangat memilukan. Berkali-kali Sayyid Ali menghentikan pembacaan surat tersebut karena harus mengesat air mata yang dengan deras mengalir tidak terbendung. Air mata duka dan kehilangan yang sangat dalam.

Setelah itu, sesuai dengan amanat perlembagaan, Majlis Khubregan (Dewan ulama' pakar kepimpinan) bersidang untuk menunjuk pemimpin baru revolusi Islam. Meskipun masih diliputi suasana duka, anggota Majlis yang berjumlah 72 ulama' kesemuanya itu tetap menghadiri sidang. Dalam suasana tertekan akibat rasa kehilangan, mereka harus segera memutuskan siapa yang menjadi pemimpin tertinggi menggantikan Imam Khomeini. Kepribadian Imam yang sangat besar telah membuat semua pihak, termasuk kalangan pihak dalaman Iran, meragukan kemampuan Dewan ulama' pakar dalam menunjuk pemimpin baru yang paling tidak, mendekati kebolehan Imam Khomeini.

Dengan kekhuatiran yang sangat mendalam, sejumlah media dalam negara termasuk pro revolusi juga menjangkakan krisis besar yang akan timbul setelah wafatnya Imam Khomeini. Surat Kabar Pasdaran merakamkan:
“Dengan wafatnya Imam, sebuah jurang yang sangat lebar akan tercipta pada sistem politik Iran dan dunia. Berbagai laporan dari media massa menunjukkan bahwa jurang itu tidak akan mungkin teratasi dengan cara apapun”.

Sementara itu kalangan media massa luar negara juga berpendapat yang sama. Tentu saja, pendapat kalangan luar itu disertai dengan rasa gembira, karena jika Iran huru-hara, maka gerakan kebangkitan Islam akan ikut runtuh.

Hampir semua pihak saat itu, jika ditanya mengenai pengganti Imam sebagai pemimpin Islam, akan menggelengkan kepalanya. Situasi yang sama mencengkam sidang Dewan ulama' pakar yang harus segera memutuskan pengganti Imam saat itu. Sayyid Ali ketika itu baru berusia 50 tahun termasuk di antara anggota Dewan ulama' pakar bersama Syeikh Hashemi Rafsanjani, sahabat dekatnya, Sayyid Ali mengelurkan idea pembentukan badan kepimpinan (kepemimpinan kolektif) untuk menggantikan kepemimpinan tunggal Imam Khomeini. Sistem ini memang termaktub dalam perlembagaan Iran, bahwa jika pemimpin tunggal tidak memungkinkan untuk terpilih, maka Dewan ulama' pakar diperbolehkan untuk membentuk dan memilih para anggota badan kepemimpinan (syura kepimpinan).

Kondisi yang ada sepertinya memang akan menggiring Dewan ulama' pakar untuk menyetujui saran dari Syeikh Rafsanjani dan Sayyid Ali tersebut. Di awal sidang, tanpa didahului oleh cadangan apapun, tercipta pembentukan badan kepimpinan. Para anggota Dewan ulama' pakar juga dipastikan sepakat memasukkan nama Sayyid Ali sebagai salah satu anggota badan itu. Ketika sidang mulai membahas mekanisme pemilihan para anggota badan itu, mendadak suasana aneh tercipta di ruang tersebut. Hening dan sangat kudus. Para anggota Dewan ulama' pakar tiba-tiba bercerita tentang sinar ilham yang menyeruak ke dalam kalbu mereka. Tangan Tuhan memang tengah bertindak. Tiba-tiba, nama Sayyid Ali secara serantak diumumkan oleh para anggota Dewan ulama' pakar sebagai calon utama pemimpin tunggal pengganti Imam. Para anggota dewan tidak lagi berbicara masalah pembentukan badan kepimpinan kerana kepimpinan tunggal akan mereka bentuk dengan Sayyid Ali sebagai calon tungggal. Cadangan pembentukan Badan Kepimpinan dengan sendirinya ditolak oleh majoriti anggota Dewan ulama' pakar, kecuali oleh Sayyid Ali sendiri.

Pimpinan sidang saat itu langsung menawarkan undi kepada anggota sidang untuk mengambil suara antara memilih atau menolak Sayyid Ali sebagai pemimpin tunggal. Seluruh anggota Dewan menyetujui usulan pimpinan sidang. Idea yang dicadangkan begitu saja itu dirasakan oleh para anggota Dewan sebagai sebuah jalan keluar dari kebuntuan yang mereka rasakan selama ini. Terasa ada harapan yang manyala-nyala akan masa depan revolusi yang cemerlang saat nama Sayyid Ali disebutkan.

Sebagaimana yang dikutip oleh Surat Kabar Jumhuriye Islami 1989, Syeikh Hashemi Rafsanjani mengatakan bahwa dia yang tadinya ikut mengusulkan idea pembentukan badan kepimpinan, tiba-tiba diingatkan kepada sosok kepimpinan ideal yang dimiliki oleh Sayyid Ali. Dalam benaknya, berapa banyak pujian dan kata-kata Imam Khomeini kepada Sayyid Ali. Ia langsung mampu menggambarkan situasi kebanggaan Imam atas muridnya itu. Syeikh Rafsanjani bahkan langsung mengingat peristiwa saat ia mengajukan kekhuatirannya atas situasi 'vacum of power' yang sangat mungkin terjadi seandainya 'putra mahkota', Ayatullah al-Uzma Syeikh Montazeri, telah dipecat dari jabatannya oleh Imam. Saat itu, Imam tersenyum dan berkata, “Itu tidak akan mungkin terjadi karena kalian sebenarnya punya pemimpin”.

Kemudian, kata Syeikh Rafsanjani, Imam menunjuk Sayyid Ali sambil berkata, “Inilah Khamenei, pemimpin kalian”. Saat kertas undi dibacakan, hasilnya menunjukkan bahwa dari 72 anggota Dewan, 71 menyetujui, dan satu suara berkecuali. Aneh dan sangat sulit untuk boleh dijangkakan sebelumnya. Dengan spontan, Sayyid Ali maju ke depan dan berbicara di atas minbar sidang. Ia saat itu mengajukan penolakan atas hasil undi. Di bawah sorotan tatapan penuh harap para anggota Dewan ulama' pakar, Sayyid Ali mengemukakan keberatannya atas pilihan anggota Dewan yang menurutnya keliru itu.

Semaklah kata-kata Sayyid Ali Khamenei tentang situasi hari itu.
“Sejak dulu saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan diminta mengemban amanat yang sangat berat ini. Saya selalu mengatakan kepada siapapun bahwa saya bukan orang yang tepat untuk mengemban amanat sebagai ketua negara. Jangankan menjadi pemimpin ummat Islam, menjadi presiden ataupun jabatan yang ada di bawahnya pun bukanlah kelayakan saya. Saat saya akan mengakhiri jabatan presiden penggal kedua yang akan berakhir beberapa bulan lagi, saya mengatakan kepada Imam bahwa secara perlembagaan, saya tidak mungkin lagi menjadi presiden. Saya meminta kepada Imam untuk memberikan tugas di bidang budaya kepada saya karena saya meyakini bahwa kemampuan saya hanya di bidang ini. Itulah yang membuat saya menolak habis-habisan hasil pemungutan suara Dewan ulama' pakar pada 4 jun tahun 1989 itu. Banyak yang menyaksikan jalannya sidang pada hari itu, dan mereka melihat betapa saya tidak main-main saat menolak keputusan Dewa ulama' pakar itu. Yang akhinya membuat saya menyerah untuk menerima tugas ini adalah pernyataan tulus yang dikemukakan oleh sahabat-sahabat saya di sidang itu saat menjawab penentangan saya. Saya sangat mengenal mereka sebagai orang-orang yang tulus dan jujur. Saya menyaksikan pengabdian luar biasa mereka kepada Islam dan revolusi. Selama ini, mereka tidak pernah saya dengar berkata buruk. Kerananya, ketika mereka berulang-ulang menegaskan keputusan bulat mereka, akhirnya saya menyerah.”

Ketika hasil pemilihan Dewan Ahli ini diumumkan, rakyat Iran menyambutnya dengan hairan bercampur gembira. Mereka hairan dengan diri sendiri, mengapa Sayyid Ali Khamenei, dengan segala kemampuan yang telah teruji, tidak pernah mereka bayangkan sebagai pemimpin tertinggi mereka menggantikan almarhum Imam Khomeini? Mungkin semua itu disebabkan oleh kerendahan hati Sayyid Ali Khamenei selama ini. Tidak akan boleh ditemukan seorang pun di Iran yang pernah mendengar Sayyid Ali menyebut-nyebut kelebihan dirinya.
Dari sisi lain, mereka sangat bergembira karena Allah telah membimbing anggota Dewan ulama' pakar hingga tidak memilih siapapun sebagai pemimpin Islam selain Sayyid Ali Khamenei. Gema takbir berkumandang di seluruh penjuru Iran. Orang-orang juga turun ke jalan untuk menyatakan dukungan tersebut.

“Dast-e khuda bar sar-e ma. Khamenei rahbar-e ma”. (Tangan Tuhan di atas kepala kami Khamenei pemimpin kami).
Demikianlah ungkapan-ungkapan sumpah setia diteriakkkan rakyat Iran. Matahari Sayyid Ruhullah al-Musawi al-Khomeini telah menjalankan tugasnya yang mulia. Ia telah tenggelam di ufuk barat. Kini di ufuk timur, sinar merah mentari baru bernama Sayyid Ali Khamenei menyinari jagat raya semesta, menyongsong episod baru revolusi Islam Iran.

"Ya Allah, jagalah revolusi Islam pimpinan Khomeini ini hingga bangkitnya revolusi Imam Mahdi nanti. Khamenei adalah pemimpin tercinta kami. Lindungilah beliau. Berikan pertolongan dan kemenangan kepada para pejuang Islam di manapun mereka berada. Amin, Ya Rabbal ‘alamin."

Thursday, October 23, 2008

BIOGRAFI PEMIMPIN ISLAM SAYYID ALI KHAMENA'I -SIRI2-

Gelora Revolusi

Tahun 1962 adalah titik permulaan sebuah gerakan besar yang bukan hanya mengguncang Iran, melainkan juga mengguncang dunia. Menurut Rahimpour, cendekiawan muda Iran, revolusi yang meledak di Iran adalah sebuah bentuk pembetulan atas kebangkitan renaissance Barat di abad pertengahan yang saat itu menentukan arah perjalanan peradaban ummat manusia. Menurut Rahimpour, segala sendi-sendi renaissance Barat seperti cara kehidupan politik yang demokrasi ala Barat (Liberal), dibetulkan secara bijaksana oleh gerakan yang dipimpin kaum agamawan yang dipimpin oleh Imam Khomeini. Karenanya, meminjam terminologi Barat, renaissance Barat dan kelompok pendukungnya saat ini boleh disebut sebagai kaum konservatif, yang tentu saja, akan berjuang sekeras mungkin untuk mempertahankan apa yang telah mereka peroleh. Sedangkan gerakan revolusi Islam Iran, karena memang memberikan pembetulan secara prktikal langsung, dan penentangan terhadap sendi-sendi renaissance Barat, maka gerakan ini boleh disebut reformasi atas budaya yang ada.

Revolusi Islam yang memiliki keistimewaan yang sangat khas dan sangat tidak boleh dibandingkan dengan revolusi apapun di dunia ini secara perlahan namun pasti mulai menciptakan rentak perjuangan yang makin meningkat. Semua itu bermuara di kota suci Qom, Iran. Sayyid Ali dari muda saat itu juga berada di kota itu. Bakat dan minatnya yang besar dalam perjuangan menegakkan kepentingan agama membuatnya semakin mendapatkan perhatian dari para pemimpin gerakan revolusi, termasuk Imam Khomeini. Pada tahun 1963, Sayyid Ali bahkan mendapatkan kepercayaan yang sangat besar dari Imam Khomeini untuk menyampaikan pesan penting kepada para ulama dan kelompok revolusioner lainnya di Kota Masyhad. Saat itu, Masyhad, sebagai sebuah kota suci (pusara suci Imam Ali bin Musa Ar-Ridha, imam kelapan dalam madzhab Syi’ah Imamiyyah, berada di kota itu), Masyhad menjelma menjadi pusat kedua gerakan revolusi. Karenanya, penyampaian pesan revolusi haruslah diemban oleh orang yang betul-betul dipercayai. Sayyid Ali yang saat itu baru berusia 24 tahun telah mendapatkan kepercayaan yang sangat besar itu.

Tentu saja yang dimaksud dengan pembawa pesan di sini tidaklah seperti penyampai biasa yang hanya bertugas menyampaikan surat. Sayyid Ali secara cerdas bahkan menjadi pemidato yang mampu menjelaskan segala hal yang termuat dalam pesan Imam Khomeini kepada kelompok revolusioner di kota Masyhad. Di beberapa tempat di Masyhad, bahkan di kota-kota antara Masyhad dan Qom yang berjarak lebih dari 1.000 kilometer itu, Sayyid Ali menyampaikan pidato-pidato revolusinya dengan gaya dan bahasa yang sangat mengesankan. Tugas mulia menjadi wakil dari pesan-pesan revolusi Imam Khomeini ini terus diemban oleh Sayyid Ali di kota-kota lainnya di Iran.

Esoknya, tanggal 22 Mac, bertepatan dengan peringatan hari syahadah Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., Rejim Syah semakin mengkhawatirkan gerakan-gerakan Imam. Mereka takut acara peringatan tersebut boleh berubah menjadi gerakan politik lagi. Inilah awal mula tindakan secara fizikal Rejim Syah. Awalnya mereka mengepung rumah Imam. Akan tetapi, karena mengkhawatirkan adanya tindakan balasan, mereka mendatangi Madrasah Faizhiah Qom. Di sana, tentera keamanan Syah membubarkan acara peringatan yang sedang berlangsung. Sejumlah talabeh muda (pelajar agama) yang cuba menghalangi tindakan para petugas keamanan, diseret dan di bawa ke atap madrasah. Dari ketinggian atap bangunan, mereka dijatuhkan ke bawah. Melihat kejadian ini, Sayyid Ali dan rakan-rakan seperjuangannya mendatangi rumah Imam. Rasa khawatir mereka mendadak hilang setelah mendengar kata-kata Imam yang tetap tenang dan berkarisma.
Perjuangan kemuncak

Pada bulan Muharram tahun 1383 Hijriah (bulan Juni tahun 1963), terjadi gerakan besar yang dilakukan oleh Imam Khomeini dengan cara kembali mengumumkan hari duka nasional. Ummat Syiah memang memiliki tradisi sejarah berupa peringatan duka atas gugurnya Imam Husein dan keluarga Rasulullah lainnya di Karbala yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Pada tahun 1963, momentum itu dimanfaatkan oleh Imam Khomeini untuk mengingatkan rakyat Iran tentang hakikat perjuangan Imam Husein a.s. hingga gugur syahid secara terhormat di tanah Karbala. Pesan itu disampaikan oleh Imam Khomeini kepada sejumlah orang kepercayaannya dengan cara mengutus mereka ke sejumlah tempat penting Iran. Sayyid Ali juga mendapatkan kehormatan untuk mengemban tugas penting ini. Ia diutus ke kota Birjand, sebuah kawasan di sekitar kota Masyhad yang saat itu, berdasarkan pengakuan Asadullah Alam, Perdana Menteri Iran, termasuk di antara pusat pengawasan ketat pihak keselamatan Iran.

Sayyid Ali sudah mulai menyampaikan ceramahnya sejak 3 Muharram. Ceramah-ceramah Sayyid Ali selalu dipenuhi oleh hadirin. Saat inilah kemampuan berpidato makin terlihat. Memasuki hari ketujuh, Sayyid Ali mulai membuka kesedaran politik-agama hadirin dengan mengupas peristiwa berdarah di Madrasah Faizhiah tanggal 22 Mac.

Pidato bergelora Sayyid Ali dilanjutkan pada keesokan harinya. Puncak gelora pidato Sayyid Ali berlangsung pada 9 Muharram (Hari Tasu’a). Pidato inilah yang membuat pihak keamanan menjadi sangat mengkhawatirkan hasil yang ditimbulkan oleh pidato tersebut hingga tanpa menghiraukan akibatnya, Sayyid Ali ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan menghasut rakyat dan memprovokasi mereka. Untuk pertama kalinya, pihak keselamatan Iran berani melakukan penangkapan terhadap seorang penceramah agama di hari peringatan duka, iaitu hari 9 dan 10 Muharram. Sayyid Ali ditahan oleh Badan Intelegent Kerajaan Iran (SAVAK) dan disiksa teruk selama dua hari. Penahanan ini sama sekali tidak membuat gentar Sayyid Ali. Ia sama sekali tidak kehilangan semangat apatah lagi menyerah kalah, meskipun beliau ditahan oleh badan yang paling ditakuti oleh rakyat Iran saat itu dan diancam dengan pelbagai siksaan. Setelah isu kontroversi penahanan Sayyid Ali tersebut, warga Birjand dan Kota Masyhad sendiri malah makin bersemangat untuk bangkit melawan Syah. Peringatan Asyura tahun 1963 di Masyhad kemudian tercatat sebagai yang paling bergelora di seluruh Iran setelah Tehran. Setelah dibebaskan dari tahanan oleh SAVAK, Sayyid Ali tanpa merasa lemah kembali melanjutkan aktiviti perjuangan sucinya.

Para pengikut setia Imam, termasuk Sayyid Ali, adalah di antara tulang belakang perjuangan yang terus mengobarkan revolusi di dalam nrgara hingga meraih kemenangannya yang penuh keberkahan pada 11 Februari 1979. Setelah revolusi mencapai kemenangannya, Sayyid Ali juga diberi kepercayaan untuk mengemban sejumlah amanah yang sangat besar, di antaranya menjadi Khatib Salat Jumaat Tehran dan menjadi Presiden Republik Islam Iran. bersambung...

Wednesday, October 15, 2008

BIOGRAFI PEMIMPIN ISLAM SAYYID ALI KHAMENA'I -SIRI 1-

Kenalkah anda Siapakah Beliau ?

“Selama bertahun-tahun lamanya, saya telah mengenal Anda. Hubungan di antara kita bahkan sudah terjalin, jauh sebelum meletusnya revolusi. Hingga kini, saya mengenal Anda sebagai salah satu tulang belakang revolusi Islam Iran. Anda juga saya kenal sebagai seorang yang sangat faham masalah-masalah hukum Islam, dan Anda sangat taat dengan hukum-hukum tersebut. Terkait dengan penegakkan sistem pemerintahan Islami yang berlandaskan konsep Wilayatul Faqih, Anda terbukti telah berani mengorbankan apapun, termasuk nyawa, demi tegaknya sistem pemerintahan suci ini. Anda di antara orang-orang yang setia kepada revolusi dan agama, Anda bagaikan mentari yang memberikan cahaya kepada sekelilingnya". (Kesaksian Imam Khomeini tentang Sayyid Ali Khamenei)

Sebuah Keluarga Sederhana

28 Shafar 1382 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 18 April 1939, keluarga miskin dan sederhana dari keturunan Rasulullah s.a.w.w yang bersambung pertalian darahnya dengan Sayyidus Syuhada' al-Imam Husain a.s iaitu keluarga Hujjatul Islam wal muslimin Sayyid Jawad al-Husaini telah melahirkan putera kedua yang diberi nama Sayyid Ali. Tak ada tanda-tanda berarti yang menunjukkan bahwa bayi tampan yang dilahirkan dari keluarga yang taat pada agama itu akan menjadi salah satu tonggak revolusi Islam di Iran. Sayyid Jawad, sang ayah, saat itu tidak mengira bahwa sang putera yang dilahirkan di kawasan Khamene, sebuah kota kecil sekitar Masyhad, Iran Timur itu, kelak akan disebut oleh al-marhum Ayatullah Talegani, imam Jumaat pertama setelah revolusi, sebagai pemimpin masa depan Republik Islam Iran dan dunia Islam.
Padahal, Sayyid Ali yang menjalani masa-masa pertumbuhan dimasa kanak-kanaknya dengan kehidupan yang sangat sederhana tersebut, kini adalah pemimpin tertinggi di Iran bahkan kaum muslimin. Beliau kini dikenal dengan sebutan Ayatullah Al-‘Udhma Sayyid Ali Khamenei. Beliau bahkan seorang wali faqih yang berdasarkan aqidah kepercayaan para pengikut Ahlul Bait, ia adalah wakil dari Imam Zaman a.s yang saat ini sedang dalam masa ghaibah (menghilang dari pandangan zahir).

Ke manapun beliau mengunjungi tempat di Iran, ribuan bahkan terkadang sampai jutaan rakyat mengalu-alukannya. Orang-orang secara histeria menyebut beliau dengan kata-kata “Khamanei Khomeini-ye digar ast!” (Khamenei adalah penjelmaan dari Imam Khomeini). Setiap beliau menyelesaikan pidato yang berisikan seruan kepada rakyat Iran untuk melakukan sesuatu menghadapi serangan kekuatan-kekuatan besar dunia, orang-orang itu akan berteriak “Ma hame sarbaz-e tu im Khamenei! Gush be farman-e tu im Khamanenei” (Kami semua adalah prajuritmu wahai Khamenei! Telinga kami selalu siap mendengarkan titahmu wahai Khamanei!).

Sayyid Ali Khamanei memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin yang tumbuh dari bawah. Datuknya, Sayyid Husein, memang seorang ulama pejuang yang bahkan sempat menjadi utusan daerah Tabriz pada Majelis Nasional Iran, sebuah jabatan yang kemudian dipergunakan Sayyid Husein untuk melawan rejim zalim Pahlevi dan kemudian berakhir dengan gugurnya beliau di tangan kuncu-kuncu Reza Khan. Akan tetapi, semua itu tidaklah cukup untuk menjadikan Sayyid Ali remaja sebagai orang yang dikenal sebagai keturunan pejuang. Sayyid Ali tetaplah menjadi sosok sederhana dan tawadhu' yang menapaki jinjang kepemimpinannya lewat perjuangannya sendiri.

Masa Kanak-Kanak

Masa kanak-kanak Sayyid Ali dilalui dengan belajar Al-Quran dari ayahandanya sendiri. Pada usia tujuh tahun, sebagaimana anak-anak seusianya, Sayyid Ali memasuki pendidikan di sekolah rendah. Selesai menamatkan pendidikan rendah, Sayyid Ali melanjutkan pendidikan di sekolah menengah. Pada saat yang sama, Sayyid Ali juga mulai memasuki dunia hauzah, yang dikenangnya sebagai masa paling mengesankan selama hidupnya. Pada tahun 2000 lalu, saat diwawancarai oleh para pelajar sekolah menengah di Teheran, dan saat ditanya tentang cita-cita beliau waktu kecil, Sayyid Ali menjawab bahwa beliau tidak begitu ingat, apa cita-citanya ketika masih kanak-kanak. Hanya saja, menurut beliau, yang paling mengesankan dari masa kanak-kanak dan remajanya adalah ketika ia memutuskan untuk belajar ilmu-ilmu keagamaan di hauzah ilmiah.

Hauzah seakan sudah dipersiapkan sebagai dunia masa depan Sayyid Ali. Ayahnya, dan terutama ibunya, selalu mengatakan kepada Sayyid Ali bahwa satu-satunya keinginan keduanya menyangkut masa depan Sayyid Ali adalah mengirimkannya ke hauzah ilmiah. Sayyid Ali sendiri memang sangat menyukai ilmu-ilmu keagamaan. Pengetahuan luas ayahnya di bidang ilmu-ilmu agama adalah salah satu penyebab kekaguman Sayyid Ali kepada ayahandanya.

Sejak awal memasuki dunia hauzah, Sayyid Ali remaja sudah mengenakan pakaian ruhani sebagai pakaian sehari-hari, yaitu gamis, qaba, aba’ah (jubah), dan serban hitam yang menandakan bahwa ia seorang sayyid (keturunan Rasulullah s.a.w.w). Mengenai pakaian ruhani yang sudah dipakainya sejak masih remaja itu, Ayatullah Khamenei mengatakan bahwa pakaian ruhani tersebut baginya merupakan satu tanda bangkangan beliau dari awal lagi bahwa ia adalah penentang rejim zalim Syah. Reza Khan, ayah dari Reza Pahlevi yang memang sangat terkenal membenci jenis pakaian seperti itu. Tapi, justru karena itulah, Sayyid Jawad sudah menyuruh anaknya agar mengenakan pakaian ruhani ketika baru saja memasuki dunia hauzah, sebagai bentuk penentangan terhadap Syah.

Belajar di Hauzah dan Menjadi Kritikus Sastra

Di hauzah, hanya dalam tempo lima tahun, Sayyid Ali menunjukkan bakatnya yang luar biasa di bidang ilmu-ilmu agama. Pada usia 18 tahun, Sayyid Ali sudah diperbolehkan untuk mempelajari bahtsul kharij, sebuah tahap dalam disiplin ilmu-ilmu hauzah yang memungkinkan seorang talabeh (pelajar ilmu agama) untuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan tingkat tinggi. Sekolah kerajaan sendiri ditinggalkan Sayyid Ali setelah ia menamatkan pendidikan menengahnya. Akan tetapi, ia tetap mempelajari ilmu-ilmu umum secara bergilir. Sayyid Ali memang sangat gemar membaca. Segala bidang ilmu ia pelajari. Akan tetapi, yang paling disukainya adalah sejarah dan sastra. Di bidang sastra, Sayyid Ali saat muda sempat bergabung dengan sebuah kelab sastra. Di sana ia menjadi kreatif dengan karya-karya sastra dari para sastrawan kota Masyhad. Ia juga sempat menulis sejumlah syair yang dimuat di beberapa buletin sastra Masyhad. Saat menulis, ia menggunakan nama samaran: Amin. Sampai usia 20 tahun, Sayyid Ali belajar bahsul kharij pada Ayatullah Ashena’i di Masyhad. Selepas itu, ia melanjutkan pelajaran tingkat tingginya di kota Najaf, Irak, yang saat itu dikenal sebagai salah satu pusat belajar ilmu-ilmu keislaman dunia.

Pada tahun 1959, Sayyid Ali kembal ke Iran, dan melanjutkan belajar di Qom Al-Muqaddasah. Di sinilah ia berkenalan dengan guru yang kemudian menjadi mentor politiknya: Imam Khomeini. Selain belajar kepada Imam Khomeini, Sayyid Ali saat muda juga belajar pada sejumlah ulama besar waktu itu seperti Ayatullah Ha’iri dan Ayatullah Boroujerdi. Sayyid Ali yang sejak masa remaja sudah terasah bakat-bakat keilmuannya di hauzah ilmiah Masyhad dan Najaf, menjadi semakin cemerlang lewat bimbingan yang cerdas dari para ulama besar. Dari Imam Khomeini, Sayyid Ali juga menyerap secara sempurna semangat kebangkitan dan perjuangan melawan kezaliman.

Bersambung...